Tak Ada Judul



Yogyakarta, 3 Januari 2011



Hari ini merupakan hari ketiga di tahun yang baru, 2011. Hujan deras menemani. Menghabiskan waktu di perpusatakaan kampus sudah bukan menjadi hal yang baru bagiku. Jangan salah sangka, aku tidak membunuh waktuku dengan membaca salah satu atau dua buku yang berderet dan berbaris rapi di sana. Aku hanya mencoba berinteraksi dengan rekan sejawat di dunia maya (chatting – red) melalui fasilitas yang disediakan kampus. Mumpung gratis. Sebuah prinsip ga mau rugi oleh seorang mahasiswa ekonomi yang meresapi ilmu ekonomi yang didapatnya di bangku kuliah. Di tengah perbincanganku (melalui facebook chat tentu saja), seorang teman memintaku dengan penuh harap dan berlutut serta binar air mata (maaf…terlalu lebay) untuk menulis di blog milik organisasi yang mempertemukanku dengan teman tersebut. Ku bertanya padanya tentang ragam tulisan yang akan kuberikan. Ternyata, curcol (curhat colongan) pun ia bolehkan. Katanya, ini untuk memancing teman-teman kader agar aktif menulis. Kader? Sebutan untuk anggota HMI, spesifik lagi HMI Komisariat FE UII. Sudah lama ku ingin menulis sesuatu tentang organisasi ini. Mungkin saja ini merupakan saat yang tepat.



HMI, sebuah singkatan dari Himpunan Mahasiswa Islam, organisasi yang aku tekuni sejak kurang lebih lima tahun yang lalu. Bermula dari spanduk Training Perbankan Syariah (saat itu belum banyak yang mengadakan kegiatan sejenis) yang terpampang di pagar depan kampus. Di bagian kiri spanduk itu bercokol sebuah lambang berbentuk perisai berwarna hijau-hitam dengan bulan sabit dan bintang serta tulisan yang berwarna putih. Singkat cerita, “terjebaklah” aku di dalam organisasi tersebut. Tidak ada ajakan ataupun paksaan sebenarnya, namun di antara beberapa pilihan organisasi aku lebih condong ke situ. Karena masa-masa itu ada isu-isu di beberapa organisasi kampus yang ga sreg di hati. Tapi tidak dengan organisasi ini. Hmm… setidaknya belum sampai ke telinga ku.



Banyak liku dalam kehidupanku berorganisasi. Saat pertama menjadi kader, sering timbul dan tenggelam dalam kegiatan sudah menjadi makanan sehari-hari. Boleh dikata aku adalah kader yang tidak aktif. Sedikit malu sebenarnya untuk dituliskan dan dibagi kepada teman-teman semua. Tapi itulah makna dari sebuah proses. Apa sebenarnya yang ingin kutulis? Rasa-rasanya kok aku curhat di tempat yang tak tepat. Bukanlah curhat semata yang ingin kubagikan untuk teman-teman semua. Tapi, mudah-mudahan tulisan ini dapat menginspirasi siapapun yang membacanya, khususnya adik-adikku yang saat ini sedang berproses di dalam dinamika hijau hitam ini.

Kalau boleh jujur, aku adalah orang yang pemalu dan pendiam. Teringat di hari-hari terakhir Latihan Kader I. Ketika itu aku diberi kesempatan untuk melakukan kultum selepas ibadah maghrib. Mungkin para pemandu “melihat” bakatku untuk tidur dan diam selama pelatihan dilaksanakan. Aku yang tak terbiasa berbicara di depan umum, cuma bisa cengar-cengir atau malah ketawa sendiri. Kalaupun ngomong, hasilnya ngalor ngidul doank. Ga jelas apa inti permasalahan yang ingin kubicarakan. Tapi di sanalah aku belajar bicara di depan publik (walau cuma beberapa orang sudah pantas disebut publik hehehe), di “rumah kita” aku belajar menganalisa. Analisa khas mahasiswa yang lebih cenderung beropini. Di situlah, di komisariat, aku bertemu orang-orang hebat. Tempatku untuk bersosialisasi serta mengeluarkan pendapat. Dan yang pasti merupakan tempat bagiku untuk belajar kehidupan.



Ahmad Dahlan pernah berkata, “Hidup-hidupilah Muhammadiyah, jangan mencari hidup di Muhammadiyah.” Ungkapan tersebut sangat pantas untuk diterapkan di komisariat kita. Seniorku dulu juga pernah berkata demikian. Memang ga ada untung kalo mencari kehidupan di komisariat, yang ada malah buntung. Akan tetapi, jadikan dinamika di komisariat sebagai pembelajaran dan yakin suatu saat akan bermanfaat. Yakin usaha sampai. Saat ini, meski belum keluar dari kampus, aku merasakan betul tempaan dari komisariat. Sama seperti dulu, apa yang sedang kubicarakan (kali ini ditulis) tak pernah menyentuh inti. Tetap ngalor ngidul. Tapi ada yang berbeda. Kali ini, tulisanku sudah melebihi 500 kata dalam waktu yang relatif singkat. Sadarilah, inilah manfaat dari sekelumit masalah dalam berdinamika di komisariat. Dan kembali ke konteks tulis menulis (khususnya di blog), dunia kepenulisan bagiku merupakan media beraktualisasi diri (bukan Media Arief Rizqi loh), tempatku menuangkan ide bahkan curahan hati. Jadi jangan takut untuk memulai. Jangan khawatir mengenai tata bahasa yang rumit. Jangan khawatir untuk dikritik. Menulislah sekarang! Biarkan “pena”mu bebas menari!

Posted on January 3, 2011, in Sudut Pandang. Bookmark the permalink. 2 Comments.

  1. dilarang menerbitkan tulisan yang sama di dua media sekaligus coy

Leave a comment